Sunday, June 17, 2018

Kesan Anak Semua Bangsa


Kata-kata ini ialah balasan setelah membaca buku kedua tetralogi Pulau Buru, Anak Semua Bangsa.
Bumi Manusia boleh Hanung anggap tentang Minke-Annelies (saat membuat ini, Bumi Manusia yang ingin difilmkan viral), jangan di Anak Semua Bangsa. Minke adalah anak semua bangsa, berorang tua pribumi, dididik Jawa dan Eropa, bersekolah Eropa untuk mengenalnya, bersahabat dengan orang Prancis yang rendah hati, mengajar Jawara dari Madura, menolong angkatan muda Tiongkok dan segera menjadi sahabatnya dan semuanya ilmu yang ada untuk ia jadikan bahan membangun Hindia, itulah Minke, Anak Semua Bangsa.



Berikut kutipan-kutipan yang aku dapati suka. Hobi baruku yang biasanya buku kubaca dan kucoret menggunakan alat tulis berwarna sebagai tanggapan, kini aku tanda dengan postnote, kemudian kupindahkan tanggapanku menjadi digital. Ingin berbagi pada orang yang mungkin mempunyai kutipan yang disuka sama.


Hal 155
“pasti, Tuan Minke. Lihat, barangsiap muncul di atas masyarakatnya, dia akan selalu menerima tuntutan dari masyarakatnya—masyarakatnya yang menaikkannya, atay yang membiarkannya naik. Kan Tuan hafal betul pepatah Belanda itu: Pohon tinggi dapat banyak angin? Kalau Tuan segan menerima banyak angin, jangan jadi pohon tinggi.”
Yang aku sukai ialah bagian pohon dan anginnya, memang mirip pepatah “semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerjang”. Tapi di sini aku tahu, bahwa itu ialah pepatah Belanda.

Hal 144
Aku rasai kebahagiaan berkembang dalam dada. Kuhisap udara lepas ini dalam-dalam ke paruku dan kubentangkan kedua belah tanganku seakan garuda hendak terbang. Betul juga Kommer, sedikit saja mau memperhatikan, ternyata ada benua baru muncul, dengan gunung dan kalinya, dengan kepulauan dan perairannya. Aku akan lebih lama tinggal di benua baru ini. Bukan Colombus saja penemu benua. Juga aku.
Yang ini aku suka pengandaiannya, perasaan senang Minke mendapatkan pengalaman baru. Ratanya penulis akan menggembirakan dengan senang, dadak bergejolak, ini lain lagi.

Hal 248
Aku berjalan terus ke arah rumah bambu itu. Dan bukan hanya Eropa! Jaman modern ini telah menyampaikan padaku buahdada untuk menyusui aku, dari Pribumi sendiri, dari Jepang, Tiongkok, Amerika, India, Arab, dari semua bangsa di muka bumi ini. Mereka adalah induk-induk serigala yang menghidupi aku untuk jadi pembangun Roma! Apakah kau benar akan membangun Roma? Ya, jawabky pada diri sendiri. Bagaimana? Aku tak tahu. Dengan rendah hati aku emngakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orangtua, memang hanya satu kebetulan, sama sekal bukan sesuatu yang keramat.
Dari paragraf ini aku mengerti alasan mengapa dinamai Anak Semua Bangsa, arti judulnya, maknanya, sekiranya bagiku seperti itu.

Hal 261
“sayang sekali,” sela Kommer. “Dengan hanya menulis, Tuan Minke, hidup bisa menjadi terlalu pendek. Tuan harus punya jadwal untuk hidup di udara terbuka. Syaang sekali Tuang tak mau ikut berburu denganku. Barangkali Tuan belum pernah meliaht bagaimana rusa lari melompat-lompat dan meneleng-neleng mengintip pemburunya. Tanduknya yang indah bercabang-cabang tak dapat menyelamatkan kulit dna jiwanya. Memang indah tanduk itu, apalagi kalau dia sedang lari dengan kepala mendongak ke langit. Keindahan yang sia-sua. Tanduk itu membikin dia tak dapat bersembunyi dalam semak, tak dapat lari di dalam hutan. Tanduk, Tuan Minke, hana karena tanduknya yang indah binatang ini dikutuk untuk selalu hidup di alam terbuka, di padang terbuka, dan terbuka pula terhadap peluru cemburu. Hanya karena tanduknya yang indah!”
Deskripsi suatu obyek. Biasanya jika latihan menulis kita diajarkan untuk mendeskripsikan suatu objek secara detail sekaligus menarik. Yang ini pun begitu, kiasannya dalam penjabaran keelokan rusa, bukan deskripsi tanduknya yang panjang dan indah, di paragraf ini  lebih dari itu.

Hal 280
Jelas menulis bukan hanya untuk memburu kepuasan pribadi. Menulis harus juga mengisi hidup, seperti dikatakan Jean Marais.

Hal 361
...sadarlah aku pada adanya jarak berabad antara aku dengan mereka. Jarak berabad! Inilah mungkin yang dikatakan oleh guru sejarah dulu: jarak sosial, boleh jadi jarak sejarah. Dalam satu bangsa, dengan satu asal makan dan asal minum, di atas satu negeri, bahkan dalam satu andong, bisa terjadi suatu jarak, belum tentu atau tidak terseberangi.
Di sini aku sadari, kenapa dulu pribumi takut benar pada Eropa. Eropa menjadikan sebodoh-bodohnya Pribumi, membuat siapa pun yang melihat pribadi berpakaian Eropa pasti ia berkuasa, menunduk, takut berbuat.

Hal 389
Ketidaktahuan adalah aib. Membiarkan orang yang ingin tahu tetap dalam ketidaktahuan adalah khianat.


Kolase Anak Semua Bangsa
Aku buat untuk mengisi waktu dan sekaligus mempelajari bagaimana membuat seni kolase atau collage art yang biasanya aku jumpai di instagram. Hitung-hitung belajar merender. Konsep kolasenya Minke yang mengobservasi bangsanya sendiri, petani tebu, untuk dijadikan bahan tulisannya. 

Jadinya dibutuhkan gambar petani, tanaman tebu, rumah (perusahaan Nyai Ontosoroh di Wonokromo) dan seorang pribumi Jawa yang berpakaian Eropa (si Minke). Kebetulan saja aku menemukan gambar orang pribumi-berpakaian-kolonial yang membawa kertas, cocok seperti gambaran tokoh Minke. Wajah si orang Eropa kututupi, takut-takut ia salah satu orang penting zaman dahulu.

sumber gambar:
Google Image, I don't have any specific website to get pics for my collage art.


2 comments:

  1. Halaman 280 juga salah satu kutipan yang aku suka.

    P.s: pas baca postingan ini baru ngeh itu dari Pram. Padahal selama ini mikirnya itu kutipan: menulis harus juga mengisi hidup, aku baca di novel lain XD

    ReplyDelete
  2. Thanks for share, artikelnya menarik min ..

    ReplyDelete

Ini ceritaku apa komentarmu?

Ikut-ikut


@bilasahil


Follow Me


bilasahil 2010-2021. Powered by Blogger.